Buku: SIASAT (Sehimpun Esai Ihwal Dunia Puisi)
Penulis: Marhalim ZainiSampul: Julisman
Lukisan Sampul: Prof. Tulus Warsito ("GO HOME", 100X 150 cm, Acrylic on canvas, 2017)
Atak: Kamil Dayasawa
Cetakan Pertama: Oktober 2018
Penerbit: Tarebooks (Jakarta)
Sepsifikasi: 13x19,5 cm, iv+347 hal, bookpaper, softcover, doff spot uv,
7 Oktober - 31 Oktober 2018
Harga PO: 55k (belum termasuk ongkir)
Harga Normal: 65k
Pesan Melalui: Penerbit; Tarebook (FB), 0811 1986 73 (WA) / Penulis: 0812
________
PENGANTAR PENULIS
SELAMA kurun 2013-2016, saya dipercaya oleh Bang Rida K Liamsi sebagai redaktur tamu satu halaman puisi di Riau Pos. Di halaman yang sama, Bang Rida juga meminta saya untuk menulis esai pendek seputar dunia puisi, yang kemudian esai yang sama juga diminta untuk dikirim ke koran Indopos Jakarta, yang halaman “Hari Puisi”-nya diasuh oleh Bang Sutardji Calzoum Bachri. Buku himpunan esai ini, berisi esai-esai pendek terpilih yang saya tulis tiap pekan itu.
Maka pertama sekali saya wajib berterima kasih pada Bang Rida, karena sepengetahuan saya, selama Riau Pos berdiri, baru saya (orang luar Riau Pos) yang diberi kepercayaan sebagai redaktur tamu. Saya juga berterima kasih karena kesempatan ini membuat saya “dipaksa disiplin” menulis tiap hari Minggu, dan dikejar dead-line. Meskipun sebelumnya, di sekitar awal tahun 2000-an saya juga dipercaya menjaga rubrik “Bengkel Sastra” untuk remaja di Riau Pos dan menulis ulasan-ulasan atas karya (puisi dan cerpen) yang dimuat—konon, beberapa generasi baru penulis Riau lahir dari sini. Lalu, saya juga berterima kasih bahwa dengan begini, saya jadi sering berkomunikasi dengan Bang Sutardji, sering dengar petuah-petuah beliau soal puisi dan esai, sambil tertawa-tawa.
Sudah cukup lama juga punya niat untuk menerbitkannya. Tapi oleh sebab yang tidak jelas, saya belum merealisasikannya. Sampai suatu saat saya bertemu dengan “penyair santri” Sofyan RH Zaid, yang tiba-tiba nongol di Taman Budaya Riau saat saya menjadi narasumber sebuah workshop teater. Dalam percakapan kami, Sofyan menyinggung soal esai-esai saya di Indopos. Konon, dia kerap membacanya, dan menyukainya. Ya, sudah. Begitu saya sodorkan soal penerbitan buku esai ini, gayung pun bersambut. Tapi, itu pun seteleh beberapa tahun kemudian baru terealisasi di tahun 2018 ini, juga karena disebabkan oleh sesuatu yang tidak jelas benar. Terima kasih bung Sofyan dan TareBooks, semoga buku ini kelak bernasib baik.
Menulis esai bagi saya, sama perjuangannya dengan menulis puisi. Gagasan kadang mengalir kadang berkelok. Kadang ringan, kadang terseok-seok. Kadang puas, dan lebih sering merasa tidak puas. Banyak yang tidak selesai dalam pikiran saya. Pikiran-pikiran yang menolak waras. Apalagi ketika dihukum oleh ruang kolom yang sempit, pikiran-pikiran yang “tidak waras” itu seperti membentur-bentur dinding. Tapi, agaknya di situ modal kreativitasnya. Di situ, kadang saya merasa, menemukan kewarasannya.
Maka menulis esai ihwal puisi, bagi saya, adalah menyusun pertanyaan-pertanyaan atau memupuk kecurigaan-kecurigaan. Bahwa puisi, belum selesai sebagai puisi. Puisi, harusnya terus dicurigai sebagai entitas ”makhluk hidup” yang bisa mati, dan lahir kembali. Bisa mati bahkan ketika ia belum diciptakan. Lahir kembali bahkan ketika ia belum cukup umur kehamilan. Dicurigai tersebab puisi, makhluk yang tidak selesai hanya ditafsir, tidak cukup hanya dibebani makna. Sebab puisi, rupanya meminta lebih. Lebih dari sekedar menuliskannya dan membacakannya. Sementara penyair, sementara bahasa, merasa telah memberi lebih pada puisi.***
Marhalim Zaini
_________
"Apakah puisi. Apakah penyair. Apakah Bahasa. Ketiga hal ini diperlakukan sebagai sebuah spektrum yang dilabilkan kembali oleh Marhalim dalam bukunya “s.i.a.s.a.t” ini. Kenapa melabilkan sebuah bentuk penciptaan, yaitu puisi, yang sejarahnya sudah panjang, mungkin sepanjang sejarah Bahasa yang jauh tak terlacak? Karena, bertanya merupakan sebuah aktivisme bahwa kerja melakukan “renovasi” terhadap sejarah, format maupun formula penciptaan, sama dengan memperbaharui posisi masa kini dalam memproyeksikan kerja-kerja penciptaan, seperti puisi. Marhalim, dalam kumpulan esainya yang kaya dan beragam ini, kehadirannya menjadi sangat penting ketika kerja literasi maupun kurasi di sekitar puisi dalam waktu panjang, setelah kematian HB. Jassin, kehilangan pemetaannya. Buku ini membawa puisi sebagai sebuah produk penciptaan dan dibuka untuk bergesekan dengan medan politik, budaya, agama, kehidupan sehari-sehari, munculnya media baru, termasuk membawanya ke medan ketubuhan antara mendengar, bicara dan melihat. Buku yang tampak berkeringat oleh kerja keras yang dilakukan Marhalim. "
-Afrizal Malna (Penyair dan Kurator)
"Tulisan-tulisan Marhalim Zaini yang terkumpul dalam buku ini sangat menarik dan inspiratif. Dia berhasil membuka banyak pintu masalah puisi dan kepenyairan khususnya, dan masalah sastra pada umumnya, untuk diteruskan dengan riset-riset yang akan lebih menjanjikan. Saya sangat menikmatinya."
-Aprinus Salam (Pengajar di Pascasarjana FIB UGM)
“Siasat adalah kumpulan esai tentang penyair dan puisinya. Penyair, puisi, dan kehidupan sosial yang mengepungnya. Dan ditulis oleh seorang penyair—salah satu penyair handal di Indonesia. Penyair yang sangat diperhitungkan di tanah kelahirannya, Riau negeri “sahibul kitab”. Tulisan-tulisan ini adalah tulisan yang dengan rajin dan disiplin ditulis Marhalim di kolom tetapnya di harian Riau Pos edisi Minggu. Marhalim Zaini, menulis dan memotret dunia kepenyairan yang dijalaninya dengan setia, meskipun latar belakang pendidikannya adalah teater modern. Sebagai seorang esais, dan seorang penulis kritik yang tajam, dia bisa berdiri di luar pagar kepenyairannya. Dengan pisau bedahnya ia menyayat dan membedah isi kehidupan puisi dan penyair di Indonesia dengan menyanding-bandingkannya dengan dunia puisi dan kepenyairan dunia. Melalui esainya, Marhalim berhasil menghidangkan sebuah perenungan yang puitis tentang puisi dan kepenyairan, namun tetap obyektif dan realistis dengan renungannya. Marhalim, menulis dengan kaidah esai yang baik, berhasil menghidangkan sebuah ruang terbuka untuk diperdebatkan dan selalu menyisakan hentakan-hentakan. Syabas!”
-Rida K Liamsi (Budayawan)
Bagikan ya:
comment 0 comments
more_vert