Karya Emi Suy
Kurator: Sofyan RH. Zaid
Prolog: Joko Pinurbo
Epilog: Arif Gumantia
Cetakan Pertama: Agustus, 2017
Cetakan Kedua: April 2018
ISBN:978-602-61444-6-1
Harga: Rp40.000,00
Pemesanan: Tarebooks (FB) / +62811 1986 73
"Menurut Sutardji Calzoum Bachri, sebuah buku kumpulan puisi paling tidak mengabarkan pada kita sejauh mana pencapaian estetik, peralihan tema, pengucapan, dan pencarian jati diri penyairnya. Buku Alarm Sunyi karya Emi Suy ini pun mengabarkan demikian. Puisi-puisi Emi dalam buku ini merupakan perpaduan harmoni antara yang baru dengan yang lama, antara yang luar dengan yang dalam, antara yang lain dengan yang tidak lain. Membaca buku ini kita akan menemukan ‘banyak sesuatu’ secara diam-diam. Di mana sunyi benar-benar menjadi alarm bagi kita dalam kehidupan modern saat ini yang mulai sukar menemukan sunyi. Buku ini seakan berkata sebagaimana dalam Fearless II: Bila kita sedang merasa tidak senang, menangislah yang kencang, namun ketika air mata berhenti, hidup harus kita lanjutkan kembali."
(Sofyan RH. Zaid, Catatan Kurator)
SUNYI
daun-daun duduk
mengemas suntuk
di bangku panjang
mengeja sunyi yang lapang
dua batang pohon tergeletak
saksi percakapan yang retak
angin menoleh
dingin menoreh
diam mematung
rindu terhuyung
lesap ditelan senyap
lebam di peluk harap
mengecup keluh di kening pilu
kenangan berserak
kata berarak
sunyi pun beranak pinak
(Puisi pembuka, halaman 1)
SUNYI MATI SENDIRI
hilang dalam rimba
setidaknya masih di langit yang sama
jejak tersapu debu dan daun-daun
kelak nisan adalah petunjuk terakhir
pertemuan kita
saat angin berubah arah
dan sunyi akhirnya mati sendiri
(Puisi penutup, halaman 71)
Endorsemen
“Saya mengenal nama Emi Suy melalui puisi-puisinya di facebook. Apa saja yang ditulisnya menjadi puisi dan puitis. Begitu juga status-status fotonya dengan caption yang puitis menyuarakan suara batin dan hal-hal di luar dirinya sebagai renungan seorang perempuan. Wow! Ternyata belakangan puisi-puisi Emi mulai merambat media massa, seperti Media Indonesia, dan buku antologi bersama, antara lain Negeri Laut (DNP 5, 2015) dan Negeri Awan (DNP 7, 2017). Sedangkan puisi-puisinya dalam buku ini, kadang terlihat manis, kadang juga meledak-ledak. Tampak benar kelancaran proses kreatifnya ibarat sungai yang mengalir deras. Menunjukkan bahwa penyairnya piawai mengangkat tema-tema tertentu yang sudah mendarah daging dalam keseharianya. Selain itu, juga sanggup mengungkapkan kemurnian dan kepolosannya sebagai seorang pemotret dunia sekitar.” (Adri Darmadji Woko, penyair, kurator, dan wartawan)
“Adalah mengasyikkan ketika membaca puisi-puisi Alarm Sunyi Emi Suy, terlebih ketika ia bicara hati perempuan; jiwa yang kaya dalam cinta dengan segala tindak dan doa. Terasa betul sikap spontanitasnya yang mengalir jernih, terutama pada puisi “Penjahit Luka”. Bangunan puitiknya diretas secara utuh dan lugas, dengan dinamika yang terjaga sebagaimana umumnya jika perempuan menyelesaikan tugas-kerjanya. Seolah menyentuh sensibilitas kita untuk memahami, bagaimana kata-kata yang disusun itu membangun dirinya sendiri untuk luka yang dirasainya dengan kewajaran, namun sesungguhnya sarat dipenuhi imaji yang “melempar” kita ke sebuah dunia yang tanpa hitungan dan pamrih. (Salimi Ahmad, penyair dan penyuka kopi)
“Banyak penyair yang akrab dengan sunyi, dan menerjemahkan sunyi ke dalam suara --yang kemudian dituliskan dalam kata-kata. Salah satunya, dilakukan oleh Emi Suy, penyair perempuan yang memiliki ‘suara indah’ dalam menerjemahkan sunyi. Di tangan Emi, sunyi menjadi sangat berwarna. "Suara sunyi" tiba-tiba menyergap dari segala arah, berkumandang menuju ke tepian hati. Ada kesedihan, kegembiraan, kecemasan; ada cinta dan pengharapan, ada luka dan mimpi-mimpi. Puisi-puisi Emi di dalam buku ini, adalah perayaan sunyi yang dinyanyikan dengan penuh kelembutan hati.” (Hanna Fransisca, penyair, prosais, dan tokoh sastra pilihan majalah Tempo 2011)
“Puisi-puisi yang ditulis oleh Emi Suy terkesan kaya dengan diksi yang membawa pembaca ke dunia rindu. Rindu kepada seseorang, suasana alam tertentu, juga kepada Tuhan. Rindu merupakan suasana hati yang muskil dilawan atau ditolak. Rindu itu sebuah keniscayaan. Emi Suy mampu membahasakan rindu itu ke dalam larik atau bait yang tidak terjebak ke dalam suasana cengeng, namun suasana penuh harapan dan hati yang amat yakin.” (Tengsoe Tjahjono -Pengajar Universitas Negeri Surabaya)
“Membaca puisi-puisi Suy, saya dihadapkan dalam keseharian yang padat. Kejeliannya menangkap peristiwa justru membuat kata-kata meninggalkan celahnya sendiri. Dengan kesederhanaannya, ia menguak setiap ihwal yang terpenggal. Dari dulu, saya acap tergetar menghadapi puisi yang diangkat dari hal-hal yang remeh dan tak berarti. Menurut saya, Suy sudah berhasil melewatinya. Ibarat meminum segelas kopi, ia menyisakan renungan panjang bahkan saat tegukan terakhir telah tandas.” (Alexander Robert Nainggolan, penyair, esais, dan penikmat puisi)
Bagikan ya:
comment 0 comments
more_vert